Keberhasilan Taliban menguasai kembali kekuasaan di Afghanistan begitu menghebohkan dunia dan mengguncang kesadaran berbagai pihak. Label teroris yang tersemat pada Taliban, akibat dari penominasiannya sebagai target utama kampanye global War on Terror, tidak menghalangi mereka untuk terus berjuang melakukan perlawanan. Kelompok ‘santri’ yang kental dengan penampilan tradisional gamis dan penutup kepala imamah ini berhasil memaksa kekuatan multi-nasional pimpinan AS yang sejak dua dekade sebelumnya berusaha menumpas eksistensi mereka dan mengontrol negara melalui pemerintahan boneka.
Suksesnya Taliban dalam memaksa kekuatan asing untuk hengkang dari Afghanistan mengundang kembali romantisme perjuangan kaum Mujahidin Afghanistan di akhir tahun 1980-an yang berhasil mengusir sang adi daya Uni Sovyet. Nostalgia kemenangan ini tentu saja menjadi euphoria bagi para pendukung Taliban. Namun, bagi banyak pihak lain, kemenangan Taliban tersebut setidaknya menimbulkan dua bentuk kekhawatiran: Akankah radikalisme Islamis militant akan kembali marak seperti pasca kemenangan Mujahidin lawan Uni Sovyet? Dan akankah Taliban mempraktekkan kembali gaya pemerintahan Islam agresif garis keras seperti masa mereka berkuasa dari 1996-2001?
Buku ini mencoba menangkap respons masyarakat Muslim terhadap fenomena kemenangan Taliban tersebut serta kemungkinan pengaruh inspirasinya terhadap gerakan Islamisme. Pandangan populasi Muslim disusun berdasarkan jarak mereka dari wilayah pusat konflik di Afghanistan yang kemudian terkategori menjadi Muslim epicentrum dan Muslim peripheral. Pendapat yang muncul kemudian ‘dibedah’ dengan menggunakan ‘pisau’ analisis wacana politis (Political Discourse Analysis) dan analisis politik kontekstual (Contextual Political Analysis).